Oleh
: Furi Arviyani @pHoooyi
Asap
kendaraan mengepul membumbung tinggi ke langit yang mulai kemerahan diterpa
senja. Membuatku terpaksa menutup hidung. Terbatuk-batuk kecil. Aku patah-patah
hendak menyeberang karena lalu lintas begitu padat. Mobil dan sepeda motor
bagai berjalan merayap. Saling membunyikan klakson, wajah-wajah lelah dan sayah
tampak tidak sabaran ingin saling mendahului. Tampak beberapa tukang becak ikut
terjebak dalam antrean panjang itu. Menyeka peluh, sambil sesekali kembali
mengayuh. Satu kayuhan, berhenti, lalu dua kayuhan. Berkali-kali sebuah sepeda
motor bergantian menyalipnya. Tapi tukang becak itu tetap gagah duduk dikursi
kayuhnya. Bersabar. Dua turis yang duduk didepan tampak sumringah meski
ditengah kemacetan nan panjang itu. Asyik mengobrol sambil memotret kanan kiri.
Seperti tak mempedulikan keriuhan dan hiruk pikuk jalanan. Bahkan malah
terkesan menikmati. Bulan sabit samar
menggantung
malu-malu diatas langit Yogyakarta. Tersenyum melihatku susah payah
menyeberang. Aku mendongak, balas tersenyum.
Ini
malam minggu, wajarlah jika kawasan Malioboro dua kali lebih ramai dari
hari-hari biasanya. Banyak yang datang berkunjung sekadar ingin menghabiskan
malam minggu bersama keluarga, teman, atau pacar.
Haaapp..aku
sampai diseberang. Aku berjalan menyusuri trotoar yang kini dipenuhi pedagang
kaki lima yang mulai ramai menggelar lapaknya sejak matahari terbenam. Ku langkahkan
kakiku lebih cepat saat aku melihat dua orang turis sedang asyik berfoto. Lalu
sesekali tampak takjub melihat sekeliling.
“Excuse
me,” sapaku ramah kepada mereka. Dua turis itu sedikit kaget dan menghentikan
aktifitasnya. Lalu bersamaan menatapku. Aku tersenyum.
“I’m
Riani,” aku menyebutkan nama. Sedetik kemudian mereka tersenyum. Lalu
bergantian menyalamiku.
Yaaahh,,
mereka adalah Janson dan Anke. Aku janji bertemu dengan mereka disini. Mereka
adalah temanku dari Belanda.
Teman dari dunia maya tepatnya. Sudah sejak beberapa bulan yang lalu kami
sering mengobrol lewat jejaring sosial, dan mereka mengatakan sangat tertarik dengan Indonesia. Apalagi Yogyakarta, sudah
sering mereka mendengarnya. Dan baru hari ini mereka menyempatkan diri
berkunjung.
Aku
mengajak Janson dan Anke untuk duduk disalah satu bangku taman. Lampu jalanan
mulai berkilat-kilat beradu dengan lampu mobil dan motor yang mengekor. Musisi jalanan ramai memainkan aksinya, dikerumini
banyak orang, penasaran ingin menyaksikan dari dekat. Anak laki-laki sebayaku
mendekati kami, ramah mengucapkan selamat sore. Lalu cempreng menyanyikan lagu Yogyakarta. Aku merogoh uang ribuan
disaku celana, memberikannya pada pengamen itu. Matanya berbinar-binar, berlalu
sambil mengucapkan terimakasih.
“How
do you feel being in this country..???,” aku membuka pembicaraan.
“Great,”
Janson tersenyum lebar. Takzim. Selanjutnya aku sibuk menjawab
pertanyaan mereka, menjelaskan yang aku tahu. Tentang Jogja dan seluk beluknya.
Sudah seperti guide saja. Merekan
manggut-manggut. Tersenyum,
kagum.
Kadang mengangkat alis, penasaran. Terkesima. Entahlah.
Yang
jelas dua hari kedepan aku bertugas untuk menemani mereka mengelilingi kota
budaya ini.
***
Matahari tersenyum cerah dari balik bangunan-bangunan tinggi bertinggkat. Ramah mengucapkan selamat pagi kepada para pedagang yang mulai sibuk menata dagangannya. Riuh. Para pejalan kaki yang tumpah ruah memenuhi hampir sebagian badan jalan. Jogging, bersepeda santai, atau sekedar menikmati suasana minggu pagi sambil menyantap bubur dan gudeg yang banyak ditawarkan disepanjang trotoar. Kendaraan roda dua maupun empat tak mau ketinggalan. Meski masih pagi, meski hari minggu, masih saling berebut mendahului satu sama lain. Bunyi klakson melenguh, asap knalpot bercampur dengan udara sejuk pagi hari.
Aku
bersama Janson dan Anke menerobos segerombolan muda-mudi yang asyik bergurau di
sepanjang trotoar. Bergerombol memenuhi jalan. Mereka hanya menatap sekilas
kami bertiga, sekedar ingin tahu siapa yang mengganggu keriangan mereka.
Kemudian kembali terbahak tidak peduli.
Anke menunjuk kearah
bangunan monumen yang berdiri anggun
disekitar kawasan Benteng Vredeburg. Penasaran bertanya. Itu adalah Monumen Serangan Umum 1 Maret.
Dibangun untuk memperingati perjuangan tentara Indonesia melawan Belanda pada tanggal 1 Maret 1949. Anke
mengangkat alis, tersenyum. Ohh ya,,berarti negara kita dulu
bermusuhan ya..???
Kami menuju alun-alun
utara. Ada berbagai macam acara disini. Sekilas memang tampak tidak berbeda
dengan dijalan protokol. Ada yang berlari kecil, berjalan sambil membawa anjing
peliharaannya, duduk berselonjor, melemaskan kaki yang keletihan. Padagang bubur
keliling hilir mudik menjajakan dagangannya. Terbungkuk-bungkuk menawari
orang-orang yang duduk diatas rumput alun-alun yang basah. Kemudian kembali
berteriak riang menawarkan buburnya. Petugas kebersihan tampak sedang membersihkan sisa-sisa sampah bekas
pertunjukan musik tadi malam. Sejak tadi Anke sibuk dengan kameranya, asyik memotret.
Sambil bertanya tentang apa saja yang dia lihat. Sedangkan Janson, sesekali
jahil mengganggu Anke. Kemudian tertawa melihat Anke melotot kearahnya. Lucu
sekali melihat kakak
beradik ini. Ya, Janson dan Anke adalah kakak beradik. Awalnya aku hanya
berteman dengan Anke, kemudian entah apa pasal Janson tiba-tiba menghubungiku.
Basa-basi minta kenalan. Aku sendiri awalnya tidak terlalu menanggapi, tapi
setelah tau bahwa dia adalah kakak Anke, kami jadi berteman.
Aku
melirik jam dipergelangan tangan. Memberitahu mereka bahwa kita harus segera
bersiap-siap. Kami akan memulai wisata hari pertama di Kabupaten Bantul. Ada beberapa tempat menarik
dari kota kelahiranku itu yang akan menjadi tujuan kami. Janson mengangguk.
Anke segera merapikan peralatan memotretnya. Memasukkannya kedalam tas kecil yang selalu dibawanya.
Kami beranjak, meninggalkan alun-alun yang semakin ramai oleh pejalan kaki.
Kembali ke penginapan.
***
Aku
mengajak Janson dan Anke menikmati perjalanan sekitar 20 km kearah selatan Kota
Yogyakarta, 15 km kearah tenggara Kabupaten Bantul, menikmati pesona alam Goa
Cerme, yang tertelak di dusun Srunggo, Selopamioro Imogiri. Meskipun masih
terbilang pagi, pengunjung sudah mulai ramai berdatangan. Tampak beberapa
rombongan mahasiswa, dan turis yang baru saja sampai hampir bersamaan dengan
kami.
“Mbak
Riani, selamat pagi Mbak,” Pak Giyarto, salah satu pemandu goa menyapaku ramah.
“Selamat
pagi Pak,” aku memasang senyum tak kalah ramah.
“Bawa
siapa ini Mbak,” tanya Pak Giarto sambil menunjuk Janson dan Anke disebelahku.
“Oh..ini
teman-teman saya dari Belanda Pak. Kenalkan, ini Janson dan yang ini Anke,” aku
bergantian memperkenalkan.
Pak
Giyarto menyeringai, patah-patah mengulangi nama yang kusebutkan. Sambil mengulurkan tangan.
Tersenyum ramah.
Memperlihatkan giginya yang sudah ompong separuh.
Setelah
membeli tiket dan nego harga untuk memandu dengan Pak Giyarto, kami
mempersipakan diri. Kami mengenakan helm yang sudah dilengkapi senter.
“Ya
sudah, untuk Mbak Riani, bolehlah. Itung-itung sebagai pancingan karena masih
pagi,” Pak Giyarto berbahak. Melipat
ujung celana panjangnya.
Goa
Cerme ini memiliki panjang sekitar 1,5 km. Untuk sampai dipintu goa, kami harus melewati sekitar
760 tangga. Dan uniknya, ujung dari goa ini adalah sebuah
sendang di Kabupaten Gunung Kidul, tepatnya di desa Ploso, Giritirto,Panggang.
Jadi goa ini terletak didua daerah yang berbeda. Berawal di Bantul dan berujung
di Gunung Kidul. Dasar goa adalah genangan air dengan tinggi sekitar 1-1,5
meter. Jika musim hujan tiba, ketinggiannya bisa sampai leher orang dewasa.
Keindahan
lain yang memikat hati para wisatawan adalah stalagtit dan stalagmit dalam goa yang
membius setiap mata yang memandang. Di dalam
goa ini sangat gelap, jadi para pengunjung harus menggunakan senter atau
alat penerangan lain seperti petromaks jika ingin menelusuri goa lebih dalam.
Goa Cerme ini sering dikaitkan dengan Walisongo. Konon, dahulu sering menjadi
tempat pertemuan para Walisongo dalam
menyusun strategi untuk menyebarkan ajaran agama Islam di Pulau Jawa. Dan
Cerme berasal dari kata “arame” yang
berarti ceramah atau dakwah.
Pak
Giyarto sibuk menjelaskan beberapa hal, aku menerjemahkan kedalam bahasa
inggris kepada Janson dan Anke. Mereka mengangguk-angguk. Berbinar-binar.
Senang sekali.
Matahari
tepat berada diatas kepala ketika kami selesai menelusuri goa. Janson menyeka
keringat didahinya. Anke makmum. Aku menyodorkan air mineral, menawari minum.
Janson menyambarnya. Anke mendelik, kalah berebut. Janson menyeringai saat pukulan Anke mendarat dilengannya.
Aku menyengir, seharusnya tadi kami beli minuman dulu sebelum masuk. Kami
lantas melanjutkan perjalanan ke dusun Jetis Selopamioro.
Hamparan
sawah yang menghijau membentang didepan mata tatkala kami sudah mulai memasuki
kawasan dusun . Para petani ramah menyambut kami, berhenti sejenak dari
aktivitas mencangkul, tersenyum melambaikan tangan. Meski dijaman modern
seperti sekarang, yang marak dengan adanya traktor, membajak dengan menggunakan
sapi atau kerbau, tapi petani desa setempat masih saja menggunakan jasa
mencangkul. Selain karna medan yang tidak memungkinkan untuk masuknya traktor,
juga tidak ada yang menyewakan jasa sapi
atau
kerbau, maka mencangkul masih menjadi satu-satunya jasa yang bisa diandalkan.
Anak-anak kecil bertelanjang dada, berlari saling
berkejaran, ramai memecah keheningan siang hari yang terik. Anke sibuk
mengeluarkan kameranya, memotret, merekam aksi anak-anak kecil itu. Tertawa
sendiri, Anke memang senang dengan anak-anak. Itu ku ketahui saat chatting dua bulan yang lalu. Jika
tidak ingat sedang berada di dalam mobil, Anke pastilah sudah melompat turun
menghampiri anak-anak itu. Ikut bermain, lari berkejar-kejaran, lalu mengajak
mereka duduk, dan memaksa anak-anak itu untuk mendengarkan dia bercerita.
Sayang Anke tidak bisa berbahasa Indonesia. Ada sedikit gurat sedih dibalik
senyumnya. Aku jadi iba melihatnya.. Lantas kukatakan bahwa aku akan mengajarinya berbahasa
Indonesia. Matanya lantas berbinar-binar, terimakasih
Riani.
Dan
Janson, entahlah. Beberapa kali aku memergokinya sedang menatapku. Tatapan
yang,,aaahhh...aneh sekali rasanya. Wajahnya yang putih memerah saat kebetulan
beradu tatap denganku. Aku urung bertanya, takut dia tersinggung atau malu.
Mobil
yang kami tumpangi berhenti disebuah jembatan gantung yang membentang
menghubungkan dua desa. Yakni Desa Wunut, Kedungmiri dengan Desa Jetis,
Selopamioro. Jembatan ini telah menarik perhatian banyak pengunjung. Selain
karna pemandangannya yang indah, dibawah jembatan ini terdapat sungai yang
masih mengalir jernih airnya. Hijau kebiru-biruan. Batu-batu besar tampak
dibeberapa sisi sungai. Jika air sedang surut ditepi-tepi sungai akan terlihat
batu-batu kerikil putih yang membentuk pulau-pulau. Banyak pengunjung yang
sering turun, sekedar ingin menikmati pemandangan yang lebih menakjubkan dari
bawah jembatan.
Adalah
sekitar 30 menit kami berhenti untuk memanjakan mata diatas jembatan gantung.
Anke masih selalu sibuk dengan kameranya. Merengek pada Janson untuk berkenan
menjadi fotografer amatirnya. Janson meraih kamera dari tangan Anke sambil
bersungut-sungut. Lalu dengan gayanya Anke berpose layaknya model papan atas.
Bergerak kekanan, lalu kekiri, tersenyum, dan kadang manyun. Puas dengan aksinya
sendiri, Anke lalu meraih kamera dari tangan Janson, kemudian mengarahkannya
pada Janson, dan juga padaku disebelahnya. Aku tidak siap dan,,,Janson secara
reflek menarik tanganku untuk lebih dekat. Aku sedikit terkejut. Jembatan itu
bergoyang oleng oleh kami. Anke tertawa. Pastilah dia sedang mengerjaiku.
Janson menyengir.
***
Aku
menatap bulan sabit yang sudah agak separuh bundar. Bintang gemintang memenuhi
langit seakan berparade. Angin malam semilir, lembut menyentuh tubuhku. Belum
terlalu larut. Suara bising kendaraan masih terdengar sayup-sayup. Anke sudah
terlelap kelelahan. Sejak pulang tadi dia hanya mandi dan lansung tidur.
Tookk..tookk..tookk.
Suara
pintuk diketuk. Aku beranjak.
Janson
sudah berdiri gagah didepan pintu, tersenyum. Ya Tuhan, itu kesekian kalinya aku melihatnya
tersenyum, tapi baru kali ini aku sadar kalo senyumnya ternyata sangat manis. Ditangannya ada dua cangkir cokelat hangat. Aku
mempersilakannya masuk.
”May
we enjoy this warm chocolate on the outside only, Riani,” katanya, menawarkan.
Aku
tersenyum, urung masuk
kedalam. Mengangguk pada Janson. Kami menuju taman yang ada disamping
penginapan. Pohon-pohon palem berdiri anggun dibeberapa tepian taman. Lampu
bolam temaram, indah menghias susut-sudut. Bangku-bangku taman yang bundar,
terbuat dari kayu, terlihat mengkilat ditempa lampu. Suasana yang romantis. Ahh,, mengapa Janson mengajakku kemari..??? Aku
membatin.
Kami
duduk disalah satu bangku disudut taman. Sepi. Mungkin penghuni penginapan
sudah pada terlelap. Suara jangkik mengengkrik. Entah kenapa aku sedikit
canggung berada didekat Janson. Aku teringat tatapan matanya padaku siang tadi.
Bukan tatapan yang biasa. Ahh, atau jangan-jangan aku saja yang terlalu perasa.
Sebenarnya itu bukan tatapan yang aneh.
Janson
menyeruput cokelat hangat sambil menatapku. Aku tersipu, entah kenapa dengan
perasaan ini. Tiba-tiba saja seperti ada sesuatu yang menyumpalnya, membuat
sesak.
“This
is a beautiful city, i’m so glad to be here to meet you,” Janson membuka
pembicaraan. Wajahnya bulenya
pias
ditempa cahaya temaram. Aku tersenyum tanggung. Kenapa aku jadi gugup seperti ini..?????
“Yaahh..”
suaraku lirih, lebih lirih dari suara jangkrik, hilang oleh sapuan angin.
Suasana
lantas lengang. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Suara kendaran sudah
semakin sayup terdengar, hanya satu dua yang melintas. Lampu kamar-kamar
dipenginapan sudah dimatikan. Hanya menyisakan lampu-lampu dipojok bangunan dan ditaman ini. Janson
kembali menyeruput cokelat hangatnya yang tinggal setengah. Menghela nafas.
Kenapa jadi canggung seperti ini..???Aku lantas pamit masuk kedalam. Sepertinya Janson
tidak akan bicara apa-apa lagi. Udara malam semakin dingin menusuk tulang. Janson
mengangguk.
Please jangan menatapku seperti itu, Janson.
***
“Tadi malam kalian kemana..???” Anke menatapku dan Janson. Bertanya lewat
tatapan matanya. Uppss,,bukahkah Anke sudah terlelap tadi malam..?? Aku dan
Janson saling pandang, menyerinyai pada Anke. Anke melipat mukanya, pura-pura
kesal.
Hari ini aku akan menemani
mereka belanja oleh-oleh. Besok pagi-pagi sekali mereka akan kembali ke
Belanda. Singkat sekali rasanya waktu kebersamaan kami. Mereka teman yang baik.
Baik sekali malah. Meski baru pertama kali bertemu dengan mereka, tapi aku
sudah merasa nyaman. Tidak seperti orang asing.
Kami kembali menelusuri
kawasan Malioboro. Mencari pernak-pernik. Anke memborong banyak sekali. Ini untuk hadiah anak-anak didikku.
Begitu jawabnya saat aku bertanya. Ya, Anke adalah seorang guru disalah satu SD
terpencil di Belanda.Itu kuketahui saat chatting dua minggu sebelum mereka
memutuskan mengunjungiku. Bukan SD mewah, yang siswanya berasal dari orang
kaya, bermobil, pakaiannya bersih. Bukan. Aku sendiri tidak tahu dengan yang
dimaksud SD terpencil disana itu
seperti apa. Ada sekitar 20 anak yang dididiknya. Aku salut sekali dengannya. Wanita
muda meda belia, tapi jiwa sosialnya sangat tinggi, dijaman leberalisasi
seperti ini, wanita seperti Anke pastilah sulit ditemui.
Janson sibuk mencari miniatur-miniatur
dari bambu. Aku membantu menawar harga. Setelah nego panjang dengan pedagang, Janson
mendapatkan barang dengan harga yang lumayan. Bahkan dapat bonus karna dia
memborong banyak. Kami lantas keluar masuk toko baju-baju batik. Tidak ada yang
cocok, aku menawarkan untuk membeli di Pasar Beringharjo saja. Disana
lebih banyak macamnya, juga bisa mendapatkan barang dengan harga yang lumayan
murah. Asal kita pandai-pandai saja menawar. Para pedagang biasanya menaikkan
harga hingga dua kali lipat pada wisatawan. Jadilah kami bertiga jalan kaki
menyusuri emperan-emperan toko menuju Pasar Beringharjo. Berdesak-desakan.
Tiba-tiba…
Ya Tuhan..Janson menggandeng tanganku.
***
Aku masih berusahan keras
menepikan pikiran-pikan tentang Janson yang usil sekali mengganggu pikiranku. Seliweran tidak karuan. Tentang tatapannya waktu kami berada didalam
mobil, saat dia menarik tanganku di jembatan gantung, tadi malam ditaman, dan
terakhir waktu dia menggandeng tanganku tadi siang. Entah kenapa aku merasa
aneh sekali dengan perlakuannya.
Ya Tuhan, aku bahkan baru dua hari yang lalu bertemu dengannya. Kenapa
dia memperlakukanku sedemikian rupa..??
Anke hanya senyam-senyum
melihat Janson menggandeng tanganku. Tidak protes, malah berjalan anggun
dibelakang kami. Seperti mengawal pengantin saja. Aku jadi tersipu malu, Janson
menyeringai menatap adiknya. Apa-apaan
Anke ini..???
“Thank you already receive
us well here. This is a very beautiful city, we will certainly miss you,” Anke tersenyum, dia sudah selesai memasukkan
barang-barangnya kedalan koper. Aku tadi membantunya. Anke melirik Janson
sekilas.
“And he, he will definitely
miss you so much,” Anke terkekeh. Aku melirik Janson yang tersipu,
bersiap melempar bantal pada Anke.
Dua hari adalah waktu yang
sangat singkat untuk menikmati pesona Yogyakarta yang begitu anggun, ramah, dan
mengesankan. Ada banyak tempat menarik yang belum sempat kutunjukkan pada
Janson dan Anke. Mereka menyengir, bilang tak apa. Nanti kami akan kesini lagi. Secepatnya.
***
Pagi-pagi sekali, dingin
menusuk tulang. Ayam masih enggan untuk berkokok. Senyap. Tapi disini sudah
terjadi kesibukan yang cukup riuh. Aku membantu Anke menyiapkan koper. Meneliti
barang-barangnya, siapa tau ada oleh-oleh yang lupa dibawanya, aksesoris
misalnya. Jangan-jangan nanti Anke akan menyuruhku ke Belanda untuk
mengantarkannya. Janson dikamar sebelah entah sedang apa. Sepi sekali kamarnya.
Apa mungkin dia masih terlelap..?? Tadi malam dia tidur larut sekali. Kami
menghabiskan separuh malam dikawasan 0 kilometer. Duduk menikmati alunan musik
para musisi jalanan. Pengamen datang dan pergi. Anak-anak muda asyik bersepeda
santai, hilir mudik diruas jalan protokol. Anke menolak ikut karna
kecapekan. Janson mengajakku berbincang tentang
kunjungannya selama beberapa hari ini, tentang Yogyakarta, dan tentang sesuatu
yang selama beberapa hari ini mengusikku, pernyataannya cukup membuatku
terkejut. Sesuatu yang menjelaskan banyak hal, tentang tatapannya padaku saat
kami berada didalam mobil, saat malam-malam ditaman.
Janson mengagumiku.
Pintu kamar diketuk. Ake
beranjak membukakan pintu. Janson. Berdiri gagah didepan pintu sambil menenteng
tas besar. Tersenyum mengucapkan selamat pagi.
“Kau bisa cepat sedikit Anke..??? Atau kau mau nanti ketinggalan
pesawat..??? Ahh yaa..kau sengaja ya biar kita ketinggalan pesawat..??? Kau tak
ingin pulang sebenarnya”, Janson
mendekat pada Anke yang masih sibuk dengan barang-barangnya. Mengacak-acak rambut
Anke. Heran. Bukankah tadi malam semua
sudah beres..??
Anke mendelik. Menatap
Janson.
“Bukankah kau sebenarnya yang tak ingin pulang..????” Suaranya sengaja keras sekali. Janson buru-buru
membekap mulut Anke. Tersipu.
Aku tersenyum melihat mereka. Lalu mengatakan bahwa
kita harus bergegas.
***
Anke memelukku. Mengucapkan
terimakasih. Berjanji akan datang lagi. Bilang bahwa Yogyakarta menyimpan
beribu kerinduan yang akan menderanya disela-sela kesibukannya. Janson
menyalamiku. Tersenyum, ini senyum termanis yang pernah kulihat. Ada gurat
kesedihan dimatanya, berat meninggalkan kota ini. Tiga hari telah memberi warna
dan cerita baru dalam hidupnya. Cerita tentang Yogyakarta, tentang cinta.
Entahlah. Mungkinkah dia jatuh cinta..???
Padaku..???
***
Nice :) lanjutkan bakatmu kakak ...
BalasHapusWhat..???
HapusKakaakk..???