Sebut saja Liliput. Kenapa begitu, entahlah. Nama itu seakan sudah tak terpisahkan dari hidup seorang gadis kecil yg kini tumbuh menjadi remaja dewasa dengan sejuta impiannya. Mimpi. Satu kata yg sampai saat ini masih ku genggam erat di tanganku. Satu kata penuh berjuta makna, kejutan dan juga keajaiban. Berawal dari mimpi, berlalu dengan perjuangan dan kerja keras, dan semoga berakhir dengan indah. Percaya pada diri sendiri, selalu menjadi diri sendiri, itu adalah kunci .

Senin, 17 Maret 2014

CERPEN : AKU TELAH PATAH



“Aku janji Re. Aku akan kembali, untukmu,” dia menggenggam tanganku erat.  Suaranya berat. Pastilah seberat hatinya mengambil keputusan ini. Sama halnya denganku, berat menerima keputusannya.
Aku masih menunduk.  Sekuat hati menahan perasaanku yang sudah buncah.
Kenapa dia harus pergi..?? Kenapa secepat ini..?? Kami bahkan belum genap satu bulan berpacaran.
 sudah sejak SMA dia jatuh bangun mengejar cintaku. Namun baru beberapa minggu yang lalu aku mempercayakan hatiku padanya. Luluh melihat perjuangannya. Aku menitipkan setitik asaku. Asa yang mulai tumbuh perlahan bersama janji masa depan yang ia sematkan. Dan sekarang..??
Haruskah kisah ini dijalin bersama jarak dan waktu yang berbeda..?? Yogyakarta dan Balikpapan.
Akankah aku dan dia bisa..?? Ya Tuhan..
Aku bisa saja merengek padanya, menyuruhnya membatalkan rencana ini, dia pasti akan melakukannya demi aku.  Ya, dia mau melakukan apa saja untukku.
Aku masih menunduk. Angin berhembus bagai desingan peluru yang menembus dadaku. Sesak, aku ingin menangis. Bahkan sebutir air mataku sudah jatuh menerpa pipiku. Sebelum aku menghapusnya, tangannya sudah terlebih dulu sigap mengusapnya.

      “Kamu percaya kan sama aku..?? Kita akan tetap saling mengisi. Aku akan pulang tiga bulan sekali. Tidak akan ada yang berubah diantara kita,” untuk kesekian kalinya dia mencoba meyakinkanku.  Aku masih bergeming.
Tidak akan ada yang berubah dia bilang..?? 
Yogyakarta dan Balikpapan. Akan banyak yang berubah tentunya. Aku protes padanya lewat tatapan mataku. Dia menghela nafas panjang.
“Tidak.” tegasnya.
Aku pasrah.
Sejak kapan kamu meragukannya..?? Wahai hatiku..?? Jika dia bilang tidak akan ada yang berubah, tentulah tidak akan ada yang berubah.  Bukankah dia selalu menepati kata-katanya..??
Aku bergumul dengan hatiku sendiri.  Tidak. Aku tidak boleh egois. Bukankah ini cita-citanya sejak dulu..?? Sekarang sudah didepan mata. Kenapa aku harus menghancurkannya hanya demi egoku sendiri..??
Pergilah..
Aku akan menunggu.
                                                     ***
Ini kepulangannya yang pertama sejak dia pergi enam bulan yang lalu. Dia minta maaf padaku karna tiga bulan pertama dia masih sibuk. Aku mengangguk, memaklumi. Toh dia benar, tidak ada yang berubah diantara kami. Kita masih tetap saling mengisi. Jarak bukanlah sebuah masalah yang terlalu harus dikhawatirkan. Asal kita percaya satu sama lain, segalanya menjadi mudah.
“Mulai bulan depan jadwalku sudah semakin padat. Mungkin untuk enam bulan kedepan aku tidak bisa pulang. Tapi aku janji , begitu pulang nanti aku akan langsung melamarmu.”
Aku senang mendengar dia akan melamarku. Tapi entah kenapa aku mulai khawatir dengan kesibukannya. Pastilah waktunya akan banyak tersita. Tapi sekali lagi dia berhasil meyakinkanku.
Ahhh.., dia memang selalu berhasil. 
Layar handphone-ku berkedip, aku memalingkan muka sejenak dari monitor demi melihat ke layar hp. Hanya miscal. Aku menggerutu dalam hati. Mengganggu saja.
Selang satu menit handphone-ku kembali berkedip. Kali ini sms.
Message Received : Adi
Jlan yuk
Message Sent : Adi
Mles
Message Received : Adi
Mles aj ap mles bgt..?? :-D
Aku membanting hp-ku pelan diatas kasur. Kemudian kembali ke layar monitor. Aku sedang malas menanggapi guyonannya. Aku tidak membalas lagi sms itu. Ahh, bukankah aku selalu mengabaikannya..??
Biarlah, toh dia sudah terbiasa aku abaikan.
“Kasihan kan Re,” protes Ajeng padaku suatu waktu. Aku hanya tersenyum.
“Kalo kamu mau ya ambil aja,” jawabku sekenanya.
“Ya kalo dianya mau sama gue sih nggak papa. Masalahnya dia ngebetnya cuma sama lo,” dia melempar kulit kacang ke mukaku. Sialan.
Dia tertawa.
Ya, sayangnya Adi hanya mau sama aku. Seratus cewek di kampus yang ngejar-ngejar dia semuanya bernasib sama. Dicuekin.
Aku sendiri heran kenapa sejak SMA dia selalu mengejarku. Yang jelas-jelas sudah punya pacar. Dan Adi tau kalau aku adalah tipe cewek yang super setia. Dia sendiri..?? Apa sih kurangnya..?? Ganteng, tajir, popular. Bahkan jika dia mau sepuluh wanita dalam hitungan menit bisa ia dapatkan.
“Kamu itu unik Re. Beda sama cewek-cewek  di SMA dulu. Juga di kampus ini. Itu yang bikin aku nggak bisa berpaling dari kamu.” jawabnya ketika suatu kali pernah kutanya.
Gombal. Cibirku dalam hati.
“Tapi kamu tau kan aku sudah punya Ken..??” aku masih ngotot.
“Aku akan tetep nunggu kamu.” tegasnya. Aku hanya menelan ludah. Bukan Adi namanya kalau tidak keras kepala.
                                                                 ***
Tak terasa sudah dua tahun aku dan Ken menjalani hubungan jarak jauh ini. Ken menunda lamarannya karna kesibukannya. Aku maklum. Selama ini kami masih baik-baik saja, meski sering salah paham sedikit. Tapi aku menganggap itu hal yang lumrah dalan suatu hubungan. Apalagi kami berpacaran jarak jauh.
Hingga suatu ketika, aku merasa Ken mulai berubah. Dia jarang menghubungiku. Pernah hampir satu minggu aku tidak mendapat kabar apapun darinya. Ketika kutanya, dia hanya bilang sibuk, lelah dan ada-ada saja alasannya. Semula aku menganggapnya masih wajar. Tapi lama kelamaan aku mulai curiga. Meski sekuat hati aku berusaha untuk tetap percaya padanya. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan selalu percaya padanya.

Seharian ini aku uring-uringan terus. Ini sudah kesekian kalinya Ken tidak menghubungiku untuk waktu yang lama. Aku sudah berusaha menelponnya. Tapi hp-nya selalu sibuk. Smsku juga satupun tak ada yang digubrisnya. Aku mulai belingsatan.
Kemana dia..?? Apa yang terjadi dengannya..??
Aku sudah menghubungi Rey, adiknya. Tapi Rey bilang dia sudah dua minggu malah tidak menerima kabar dari kakanya itu. Aku mencoba menepis pikiran-pikiran buruk yang seliweran di kepalaku. Mungkin sedang benar-benar sibuk. Aku menghibur diriku sendiri. Aku memutuskan untuk tidak mengganggunya dulu. Biarlah. Nanti juga pasti dia akan menghubungiku. Lebih baik aku fokus untuk skripsiku dulu.

Satu minggu, dua minggu, detik melebur menjadi menit, menit berganti jam, jam membungkus hari. Ken belum juga menghubungiku. Aku tidak bisa lagi menahan hasratku untuk tidak menghubunginya. Pasti ada yang tidak beres. Tidak mungkin tidak. Jika memang benar-benar sibuk, masak iya menyempatkan telepon atau sekedar sms saja tidak sempat.
Tuuuuuttttt…..tuuuuuutttt…..tuuuuttttt.
Tak ada jawaban. Aku mengulanginya beberapa kali. Tetap tidak diangkat. Aku masih berusaha membuang jauh-jauh pikiran-pikiran buruk itu dari otakku. Lalu aku memutuskan untuk mengirim pesan padanya. Mungkin dia sedang tidur. Kalau pesan pasti nanti dibaca.
Satu jam, dua jam, tak ada balasan darinya. Aku sudah benar-benar tidak tau harus berbuat apa lagi. Beribu macam pertanyaan silih berganti menghujam hati dan mengobrak-abrik pikiranku.
Ada apa dengannya..?? Kemana saja dia..??Apa ada yang salah denganku..??Atau jangan-jangan dia selingkuh..??    
Ahh..,aku buru-buru membuang jauh-jauh pukiran itu.
Aku menelungkupkan mukaku di bawah bantal. Aku ingin menangis. Sesak sekali rasanya dada ini. Aku merasa diabaikan. Diacuhkan. Terpenjara dalam belenggu tanyaku sendiri.
Ken..ada apa..??
                                                                  ***
Siang ini aku memutuskan untuk ke rumahnya. Setidaknya aku akan mendapat sedikit informasi tentang Ken. Sekaligus aku ingin mengunjungi Ibu. Sudah lama aku tidak bertemu dengan beliau.
Sepi. Pintu pagar tertutup rapat meski tidak terkunci. Aku masuk menyusuri halaman yang ditumbuhi rumput yang mulai meninggi. Tidak biasanya Ibu membiarkan rumput-rumput itu tumbuh lebih dari dua sentimeter. Ini bisa jadi malah sudah lima sentimeter lebih.
Aku mengetuk pintu pelan. Tidak ada jawaban. Aku mengetuknya sekali lagi. Kali ini lebih keras. Mungkin ibu sedang di dapur. Sama. Tidak ada jawaban.
“Ehh..Mbak Rere. Semua anggota keluarga sedang ke Surabaya Mbak. Ibu sakit dan dirawat di sana,” Bang Kail, tetangga paling dekat Ibu menyapaku dari depan pintu pagar. Aku berbalik badan mendekat.
“Ibu sakit Bang..?? Sejak kapan..?? Kok nggak ada yang ngabarin saya ya..??” aku bertanya setelah sampai di pintu pagar.
“Iya Mbak. Ibu kena serangan jantung. Setelah mendengar kabar dari Mas Ken. Aduuhh, saya ikut prihatin ya Mbak Rere. Sing sabar,
Aku semakin tak bisa menebak arah pembicaraan Bang Kail.
“Astaghfirullah, serangan jantung Bang..?? Memangnya Ken kenapa..??” aku bertanya seperti sedang menginterogasi seorang tersangka. Bang kail malah garuk-garuk kepala. Tidak mengerti dengan pertanyaanku. Wajahnya terlihat bingung.
“Lohh, memangnya Mbak Rere tidak tau kalau Mas Ken akan menikah bulan depan..??”
 Seketika aku bagai tersengat listrik bertegangan tinggi. Seluruh badanku lemas, tulang-tulangku seperti terlepas dari tubuhku. Pijakanku goyah. Tubuhku serasa terhempas berpuluh-puluh kilometer.
“Mbak..Mbak Rere. Mbak baik-baik saja..??” Bang kail memegang bahuku.
Baik-baik saja bagaimana Bang Kail ini..??
Aku menatap matanya tajam. Berusaha menguasai diriku sendiri.
“Bang Kail tidak salah bicara kan..?? Bagaimana mau menikah, dia saja belum melamar saya Bang,” aku masih mencoba bergurau dengan sisa-sisa keterkejutanku. Berharap pendengaranku salah. Bang Kail malah mengangkat alisnya tinggi-tinggi.
“Lohh..memang bukan sama Mbak Rere. Bukankah Mbak Rere dan Mas Ken sudah putus..??” jawaban itu membuat langit sempurna runtuh menimpaku. Tubuhku bergetar hebat. Tanah yang kupijak seolah ikut tenggelam kedasar bumi. Mataku berat. Buncah menahan air mata yang hendak tumpah. Aku terduduk lemas di tanah. Bang Kail buru-buru memapahku untuk duduk di teras. Tubuhku masih gemetar. Air mataku sudah membludak tanpa terkendali. Aku menutup mukaku dengan kedua tanganku. Menangis tanpa bersuara.
Bang Kail membiarkanku. Meski aku tahu sebenarnya dia menyimpan beribu tanya untukku.
                                                                  ***
Aku memutuskan untuk ke Surabaya hari itu juga dengan penerbangan terakhir. Ajeng menawarkan untuk menemani. Dia sudah tau garis besarnya setelah kuceritakan lewat telepon singkat. Dia khawatir dengan kondisiku. Aku menolak dengan alasan aku akan baik-baik saja. Awalnya dia ngotot, tapi begitu aku bilang akan langsung pulang setelah bertemu Ibu, dia sedikit melunak. Tapi dia ingin mengantarku ke bandara. Aku mengangguk.
Tidak sulit menemukan rumah Ibu. Aku sudah pernah datang kesini dua kali.
Aku mengetuk pintu dan mengucap salam. Terdengar langkah kaki membukakan pintu.
Rey berdiri mematung di depan pintu. Sedikit terkejut melihat kedatanganku.
“Mbak Rere,” hanya itu kata yang keluar dari bibirnya.
Aku masih belum bicara apa-apa waktu Rey mempersilakan duduk. Nampaknya dia sudah cukup jeli membaca beribu pertanyaan yang terpancar di mataku. Dia masuk dan keluar dengan segelas teh hangat.
“Maafkan aku Mbak. Aku langsung membawa Ibu ke Surabaya begitu ibu kena serangan jantung. Itu juga atas permintaan Ibu,” Rey bicara tanpa kuminta.
“Soal Ken, kami sekeluarga benar-benar minta maaf. Dia memberitahu keputusan itu mendadak. Dia bilang sudah putus dengan Mbak Rere ketika Ibu bertanya. Jujur kami semua shock. Bagaimana mungkin hubungan yang tinggal selangkah lagi sampai ke jenjang pernikahan putus begitu saja. Ajeng sudah cerita semuanya padaku. Juga tentang kedatangan Mx Rere ke sini.” Rey menghela nafas panjang. Aku makmum.
Mataku sembab sejak dari Jogja. Aku tak menangis lagi di hadapan Rey.
”Ibu ada di dalam Mbak,” Rey seakan sudah mahir membaca isyarat di mataku. Sejak datang tadi aku hanya bicara padanya lewat tatapan mataku. Rey sudah lebih dari cukup mengenal semua gerak-gerik dan bahasa tubuhku.
Tanpa menunggu aba-aba lagi aku segera menghambur ke kamar Ibu. Langkahku terhenti di depan pintu kamar yang terbuka. Ibu duduk di atas kursi roda membelakangi pintu. Menatap bunga-bunga lili yang sedang mekar. Dulu aku dan Ibu yang menanamnya waktu datang ke sini beberapa bulan yang lalu. Wanita yang sudah kuanggap Ibu kedua setelah mamaku. Aku masih terpaku ketika Ibu menyadari kedatanganku. Aku langsung menghambur memeluknya. Tangisku tumpah ruah di pelukan beliau. Ibu membalas memelukku erat. Meski aku merasa tangannya masih terlalu lemah untuk merengkuh tubuhku. Kami menangis bersama. Tak ada kata-kata yang terucap antara aku dan Ibu. Hanya isak tangis kami berdua. Tapi air mata kami sudah lebih dari cukup untuk mewakili ribuan kata dan makna dalam pertemuan itu. Kami berbicara lewat hati. Begitu dekatnya aku dengan Ibu hingga beliau mampu memahamiku seperti mama.
“Maafkan Ken nak,” akhirnya Ibu bicara. Suaranya lirih nyaris tak terdengar. Aku membenamkan kepalaku semakin dalam di pelukannya.
“Ibu tidak tahu kalau ternyata hubungan kalian belum berakhir. Ibu benar-benar minta maaf atas kelakuan Ken.” Ibu membelai rambutku pelan.
Rey hanya menyaksikan dari balik bingkai pintu. Prihatin.
                                                                   ***
Hari ini adalah pernikahan Ken. Tepat setengah jam lagi akad nikah akan dilangsungkan. Ibu sudah terbang ke Samarinda untuk menghadiri pernikahan itu. Pernikahan anaknya dengan orang yang tak dikenalnya sama sekali. Asal usulnya, bagaimana keluarganya, dan seperti apa orangnya. Ini perdana Ibu bertemu dengan calon mantunya, dan sebentar lagi akan menjadi menantunya. Rey bahkan sudah bersumpah tidak akan datang di pernikahan itu.
Aku masih meringkuk di bawah selimut tebalku. Menangis. Sebenarnya aku sudah berjanji pada Ibu untuk tidak menangis.
Ahh..Ibu. Maafkan aku tidak bisa menepati janji itu. Luka yang dibuat putramu terlalu dalam menggores hatiku. Dia separuh jiwaku Bu. Separuh nafasku. Dan janji itu, janji yang berkali-kali ia ucapkan padaku, janji masa depan, janji kebahagiaan, sudah terpatri abadi di bilik hatiku. Tapi sekarang lihatlah aku Bu, lihatlah calon menantumu. Aku telah patah.
Karna putramu.

Pukul 11.00 siang. Pukul 12.00 di Samarinda. Itu berarti akad nikah sedang berlangsung. Janji suci pernikahan tengah diikrarkan. Aku menghela nafas panjang. Menutup mata. Perih itu semakin terasa menelikung dadaku. Sesak.
Ya Allah..kuatkan aku.
                                                                             ***
Senja. Langit menyemburatkan jingga menyala. Mengiringi matahari yang bersiap tenggelam di peraduannya. Burung-burung terbang membentuk formasi menakjubkan. Angin bertiup semilir memainkan rambutku yang tergerai.
Satu tahun berlalu bagai berjalan merangkak. Satu tahun yang panjang. Aku mencoba memungut kembali serpihan hatiku, merangkainya satu persatu meski tak lagi utuh. Sendiri, tertatih merawat luka, membasuh perih dan menghapus air mata. Satu tahun berlalu. Satu tahun yang melelahkan, satu tahun yang menyesakkan. Berlalu sudah.
Hari-hari yang panjang, malam-malam yang meresahkan. Berlalu sudah. Aku yang patah. Aku yang pupus. Aku yang takut menatap masa depan. Kini mampu berdiri kembali. Mimpi yang bertahun coba kubangun, hancur, hilang entah kemana, kini pelan tapi pasti terajut lagi. Aku memang tak pernah tau kenapa Ken meninggalkanku begitu saja. Aku tak pernah tau apa salahku. Mungkin seumur hidup aku takkan pernah mendapatkan jawaban itu. Dan lebih baik aku memang tidak pernah tau.
Tapi satu yang aku tau, bahwa Tuhan punya sejuta rencana indah untukku. Saat ini aku hanya ingin melupakan. Belajar memaafkan dan mencoba untuk merelakan. Kembali hidup normal. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mampu berkata,
Semoga kau bahagia
Ya, berbahagialah. Karna di sini aku akan jauh lebih bahagia.
                                                                      ***
                                                                           




                                                                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar