“Aku janji Re. Aku
akan kembali, untukmu,”
dia menggenggam tanganku erat. Suaranya
berat. Pastilah seberat hatinya mengambil keputusan ini. Sama halnya denganku,
berat menerima keputusannya.
Aku masih
menunduk. Sekuat hati menahan perasaanku
yang sudah buncah.
Kenapa dia harus pergi..?? Kenapa secepat ini..??
Kami bahkan belum genap satu bulan berpacaran.
sudah sejak SMA dia jatuh bangun mengejar
cintaku. Namun baru beberapa minggu yang lalu aku mempercayakan hatiku padanya.
Luluh melihat perjuangannya. Aku menitipkan setitik asaku. Asa yang mulai
tumbuh perlahan bersama janji masa depan yang ia sematkan. Dan sekarang..??
Haruskah kisah
ini dijalin bersama jarak dan waktu yang berbeda..?? Yogyakarta dan Balikpapan.
Akankah aku dan dia bisa..?? Ya Tuhan..
Aku bisa saja
merengek padanya, menyuruhnya membatalkan rencana ini, dia pasti akan
melakukannya demi aku. Ya, dia mau
melakukan apa saja untukku.
Aku masih menunduk. Angin berhembus
bagai desingan peluru yang menembus dadaku. Sesak, aku ingin menangis. Bahkan
sebutir air mataku sudah jatuh menerpa pipiku. Sebelum aku menghapusnya,
tangannya sudah terlebih dulu sigap mengusapnya.
“Kamu percaya kan sama aku..?? Kita akan tetap saling mengisi. Aku akan pulang tiga bulan sekali. Tidak akan ada yang berubah diantara kita,” untuk kesekian kalinya dia mencoba meyakinkanku. Aku masih bergeming.
Tidak akan ada yang berubah dia bilang..??
Yogyakarta dan
Balikpapan. Akan banyak yang berubah tentunya. Aku protes padanya lewat tatapan
mataku. Dia menghela nafas panjang.
“Tidak.” tegasnya.
Aku pasrah.
Sejak kapan kamu meragukannya..?? Wahai hatiku..??
Jika dia bilang tidak akan ada yang berubah, tentulah tidak akan ada yang berubah. Bukankah dia selalu menepati kata-katanya..??
Aku bergumul
dengan hatiku sendiri. Tidak. Aku tidak
boleh egois. Bukankah ini cita-citanya sejak dulu..?? Sekarang sudah didepan
mata. Kenapa aku harus menghancurkannya hanya demi egoku sendiri..??
Pergilah..
Aku akan menunggu.
***
Ini
kepulangannya yang pertama sejak dia pergi enam bulan yang lalu. Dia minta maaf
padaku karna tiga bulan pertama dia masih sibuk. Aku mengangguk, memaklumi. Toh
dia benar, tidak ada yang berubah diantara kami. Kita masih tetap saling
mengisi. Jarak bukanlah sebuah masalah yang terlalu harus dikhawatirkan. Asal
kita percaya satu sama lain, segalanya menjadi mudah.
“Mulai bulan
depan jadwalku sudah semakin padat. Mungkin untuk enam bulan kedepan aku tidak
bisa pulang. Tapi aku janji , begitu pulang nanti aku akan langsung melamarmu.”
Aku senang
mendengar dia akan melamarku. Tapi entah kenapa aku mulai khawatir dengan
kesibukannya. Pastilah waktunya akan banyak tersita. Tapi sekali lagi dia
berhasil meyakinkanku.
Ahhh.., dia
memang selalu berhasil.
Layar handphone-ku berkedip, aku
memalingkan muka sejenak dari monitor demi melihat ke layar hp. Hanya miscal.
Aku menggerutu dalam hati. Mengganggu saja.
Selang satu
menit handphone-ku kembali berkedip. Kali ini sms.
Message
Received : Adi
Jlan yuk
Message Sent :
Adi
Mles
Message Received
: Adi
Mles aj ap mles bgt..?? :-D
Aku membanting
hp-ku pelan diatas kasur. Kemudian kembali ke layar monitor. Aku sedang malas
menanggapi guyonannya. Aku tidak membalas lagi sms itu. Ahh, bukankah aku selalu mengabaikannya..??
Biarlah, toh dia
sudah terbiasa aku abaikan.
“Kasihan kan Re,” protes Ajeng padaku
suatu waktu. Aku hanya tersenyum.
“Kalo kamu mau ya
ambil aja,” jawabku sekenanya.
“Ya kalo dianya
mau sama gue sih nggak papa. Masalahnya dia ngebetnya cuma sama lo,” dia
melempar kulit kacang ke mukaku. Sialan.
Dia tertawa.
Ya, sayangnya
Adi hanya mau sama aku. Seratus cewek di kampus yang ngejar-ngejar dia semuanya
bernasib sama. Dicuekin.
Aku sendiri
heran kenapa sejak SMA dia selalu mengejarku. Yang jelas-jelas sudah punya
pacar. Dan Adi tau kalau aku adalah tipe cewek yang super setia. Dia
sendiri..?? Apa sih kurangnya..?? Ganteng, tajir, popular. Bahkan jika dia mau
sepuluh wanita dalam hitungan menit bisa ia dapatkan.
“Kamu itu unik
Re. Beda sama cewek-cewek di SMA dulu.
Juga di kampus ini. Itu yang bikin aku nggak bisa berpaling dari kamu.” jawabnya ketika suatu
kali pernah kutanya.
Gombal.
Cibirku dalam hati.
“Tapi kamu tau
kan aku sudah punya Ken..??” aku
masih ngotot.
“Aku akan tetep
nunggu kamu.”
tegasnya. Aku hanya menelan ludah. Bukan Adi namanya kalau tidak keras kepala.
***
Tak terasa sudah
dua tahun aku dan Ken menjalani hubungan jarak jauh ini. Ken menunda lamarannya
karna kesibukannya. Aku maklum. Selama ini kami masih baik-baik saja, meski
sering salah paham sedikit. Tapi aku menganggap itu hal yang lumrah dalan suatu
hubungan. Apalagi kami berpacaran jarak jauh.
Hingga suatu
ketika, aku merasa Ken mulai berubah. Dia jarang menghubungiku. Pernah hampir
satu minggu aku tidak mendapat kabar apapun darinya. Ketika kutanya, dia hanya
bilang sibuk, lelah dan ada-ada saja alasannya. Semula aku menganggapnya masih
wajar. Tapi lama kelamaan aku mulai curiga. Meski sekuat hati aku berusaha
untuk tetap percaya padanya. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku
akan selalu percaya padanya.
Seharian ini aku
uring-uringan terus. Ini sudah kesekian kalinya Ken tidak menghubungiku untuk
waktu yang lama. Aku sudah berusaha menelponnya. Tapi hp-nya selalu sibuk.
Smsku juga satupun tak ada yang digubrisnya. Aku mulai belingsatan.
Kemana
dia..?? Apa yang terjadi dengannya..??
Aku sudah
menghubungi Rey, adiknya. Tapi Rey bilang dia sudah dua minggu malah tidak
menerima kabar dari kakanya itu. Aku mencoba menepis pikiran-pikiran buruk yang
seliweran di kepalaku. Mungkin sedang
benar-benar sibuk. Aku menghibur diriku sendiri. Aku memutuskan untuk tidak
mengganggunya dulu. Biarlah. Nanti juga pasti dia akan menghubungiku. Lebih
baik aku fokus untuk skripsiku dulu.
Satu minggu, dua
minggu, detik melebur menjadi menit, menit berganti jam, jam membungkus hari.
Ken belum juga menghubungiku. Aku tidak bisa lagi menahan hasratku untuk tidak
menghubunginya. Pasti ada yang tidak beres. Tidak mungkin tidak. Jika memang
benar-benar sibuk, masak iya menyempatkan telepon atau sekedar sms saja tidak
sempat.
Tuuuuuttttt…..tuuuuuutttt…..tuuuuttttt.
Tak ada jawaban.
Aku mengulanginya beberapa kali. Tetap tidak diangkat. Aku masih berusaha
membuang jauh-jauh pikiran-pikiran buruk itu dari otakku. Lalu aku memutuskan
untuk mengirim pesan padanya. Mungkin dia sedang tidur. Kalau pesan pasti nanti
dibaca.
Satu jam, dua
jam, tak ada balasan darinya. Aku sudah benar-benar tidak tau harus berbuat apa
lagi. Beribu macam pertanyaan silih berganti menghujam hati dan mengobrak-abrik
pikiranku.
Ada apa dengannya..?? Kemana saja dia..??Apa ada
yang salah denganku..??Atau jangan-jangan dia selingkuh..??
Ahh..,aku
buru-buru membuang jauh-jauh pukiran itu.
Aku
menelungkupkan mukaku di bawah bantal. Aku ingin menangis. Sesak sekali rasanya
dada ini. Aku merasa diabaikan. Diacuhkan. Terpenjara dalam belenggu tanyaku
sendiri.
Ken..ada
apa..??
***
Siang ini aku
memutuskan untuk ke rumahnya. Setidaknya aku akan mendapat sedikit informasi tentang
Ken. Sekaligus aku ingin mengunjungi Ibu. Sudah lama aku tidak bertemu dengan
beliau.
Sepi. Pintu pagar tertutup rapat
meski tidak terkunci. Aku masuk menyusuri halaman yang ditumbuhi rumput yang
mulai meninggi. Tidak biasanya Ibu membiarkan rumput-rumput itu tumbuh lebih
dari dua sentimeter. Ini bisa jadi malah sudah lima sentimeter lebih.
Aku mengetuk pintu
pelan. Tidak ada jawaban. Aku mengetuknya sekali lagi. Kali ini lebih keras.
Mungkin ibu sedang di dapur. Sama. Tidak ada jawaban.
“Ehh..Mbak Rere.
Semua anggota keluarga sedang ke Surabaya Mbak. Ibu sakit dan dirawat di sana,” Bang Kail, tetangga
paling dekat Ibu menyapaku dari depan pintu pagar. Aku berbalik badan mendekat.
“Ibu sakit
Bang..?? Sejak kapan..?? Kok nggak ada yang ngabarin saya ya..??” aku bertanya
setelah sampai di pintu pagar.
“Iya Mbak. Ibu
kena serangan jantung. Setelah mendengar kabar dari Mas Ken. Aduuhh, saya ikut
prihatin ya Mbak Rere. Sing sabar,”
Aku semakin tak
bisa menebak arah pembicaraan Bang Kail.
“Astaghfirullah,
serangan jantung Bang..?? Memangnya Ken kenapa..??” aku bertanya seperti
sedang menginterogasi seorang tersangka. Bang kail malah garuk-garuk kepala.
Tidak mengerti dengan pertanyaanku. Wajahnya terlihat bingung.
“Lohh, memangnya
Mbak Rere tidak tau kalau Mas Ken akan menikah bulan depan..??”
Seketika aku bagai tersengat
listrik bertegangan tinggi. Seluruh badanku lemas, tulang-tulangku seperti
terlepas dari tubuhku. Pijakanku goyah. Tubuhku serasa terhempas berpuluh-puluh
kilometer.
“Mbak..Mbak
Rere. Mbak baik-baik saja..??” Bang kail memegang bahuku.
Baik-baik saja bagaimana Bang Kail ini..??
Aku menatap
matanya tajam. Berusaha menguasai diriku sendiri.
“Bang Kail tidak
salah bicara kan..?? Bagaimana mau menikah, dia saja belum melamar saya Bang,” aku masih mencoba
bergurau dengan sisa-sisa keterkejutanku. Berharap pendengaranku salah. Bang
Kail malah mengangkat alisnya tinggi-tinggi.
“Lohh..memang
bukan sama Mbak Rere. Bukankah Mbak Rere dan Mas Ken sudah putus..??” jawaban
itu membuat langit sempurna runtuh menimpaku. Tubuhku bergetar hebat. Tanah
yang kupijak seolah ikut tenggelam kedasar bumi. Mataku berat. Buncah menahan
air mata yang hendak tumpah. Aku terduduk lemas di tanah. Bang Kail buru-buru
memapahku untuk duduk di teras. Tubuhku masih gemetar. Air mataku sudah
membludak tanpa terkendali. Aku menutup mukaku dengan kedua tanganku. Menangis
tanpa bersuara.
Bang Kail membiarkanku. Meski aku
tahu sebenarnya dia menyimpan beribu tanya untukku.
***
Aku memutuskan
untuk ke Surabaya hari itu juga dengan penerbangan terakhir. Ajeng menawarkan
untuk menemani. Dia sudah tau garis besarnya setelah kuceritakan lewat telepon
singkat. Dia khawatir dengan kondisiku. Aku menolak dengan alasan aku akan
baik-baik saja. Awalnya dia ngotot, tapi begitu aku bilang akan langsung pulang
setelah bertemu Ibu, dia sedikit melunak. Tapi dia ingin mengantarku ke
bandara. Aku mengangguk.
Tidak sulit
menemukan rumah Ibu. Aku sudah pernah datang kesini dua kali.
Aku mengetuk
pintu dan mengucap salam. Terdengar langkah kaki membukakan pintu.
Rey berdiri
mematung di depan pintu. Sedikit terkejut melihat kedatanganku.
“Mbak Rere,” hanya itu kata yang
keluar dari bibirnya.
Aku masih belum
bicara apa-apa waktu Rey mempersilakan duduk. Nampaknya dia sudah cukup jeli
membaca beribu pertanyaan yang terpancar di mataku. Dia masuk dan keluar dengan
segelas teh hangat.
“Maafkan aku
Mbak. Aku langsung membawa Ibu ke Surabaya begitu ibu kena serangan jantung.
Itu juga atas permintaan Ibu,”
Rey bicara tanpa kuminta.
“Soal Ken, kami
sekeluarga benar-benar minta maaf. Dia memberitahu keputusan itu mendadak. Dia
bilang sudah putus dengan Mbak Rere ketika Ibu bertanya. Jujur kami semua
shock. Bagaimana mungkin hubungan yang tinggal selangkah lagi sampai ke jenjang
pernikahan putus begitu saja. Ajeng sudah cerita semuanya padaku. Juga tentang
kedatangan Mx Rere ke sini.” Rey menghela nafas panjang. Aku makmum.
Mataku sembab
sejak dari Jogja. Aku tak menangis lagi di hadapan Rey.
”Ibu ada di dalam
Mbak,” Rey seakan sudah mahir
membaca isyarat di mataku. Sejak datang tadi aku hanya bicara padanya lewat
tatapan mataku. Rey sudah lebih dari cukup mengenal semua gerak-gerik dan
bahasa tubuhku.
Tanpa menunggu
aba-aba lagi aku segera menghambur ke kamar Ibu. Langkahku terhenti di depan
pintu kamar yang terbuka. Ibu duduk di atas kursi roda membelakangi pintu.
Menatap bunga-bunga lili yang sedang mekar. Dulu aku dan Ibu yang menanamnya
waktu datang ke sini beberapa bulan yang lalu. Wanita yang sudah kuanggap Ibu
kedua setelah mamaku. Aku masih terpaku ketika Ibu menyadari kedatanganku. Aku
langsung menghambur memeluknya. Tangisku tumpah ruah di pelukan beliau. Ibu
membalas memelukku erat. Meski aku merasa tangannya masih terlalu lemah untuk
merengkuh tubuhku. Kami menangis bersama. Tak ada kata-kata yang terucap antara
aku dan Ibu. Hanya isak tangis kami berdua. Tapi air mata kami sudah lebih dari
cukup untuk mewakili ribuan kata dan makna dalam pertemuan itu. Kami berbicara
lewat hati. Begitu dekatnya aku dengan Ibu hingga beliau mampu memahamiku
seperti mama.
“Maafkan Ken nak,” akhirnya Ibu bicara.
Suaranya lirih nyaris tak terdengar. Aku membenamkan kepalaku semakin dalam di pelukannya.
“Ibu tidak tahu
kalau ternyata hubungan kalian belum berakhir. Ibu benar-benar minta maaf atas
kelakuan Ken.”
Ibu membelai rambutku pelan.
Rey hanya menyaksikan dari balik
bingkai pintu. Prihatin.
***
Hari ini adalah
pernikahan Ken. Tepat setengah jam lagi akad nikah akan dilangsungkan. Ibu
sudah terbang ke Samarinda untuk menghadiri pernikahan itu. Pernikahan anaknya
dengan orang yang tak dikenalnya sama sekali. Asal usulnya, bagaimana
keluarganya, dan seperti apa orangnya. Ini perdana Ibu bertemu dengan calon
mantunya, dan sebentar lagi akan menjadi menantunya. Rey bahkan sudah bersumpah
tidak akan datang di pernikahan itu.
Aku masih
meringkuk di bawah selimut tebalku. Menangis. Sebenarnya aku sudah berjanji
pada Ibu untuk tidak menangis.
Ahh..Ibu.
Maafkan aku tidak bisa menepati janji itu. Luka yang dibuat putramu terlalu
dalam menggores hatiku. Dia separuh jiwaku Bu. Separuh nafasku. Dan janji itu,
janji yang berkali-kali ia ucapkan padaku, janji masa depan, janji kebahagiaan,
sudah terpatri abadi di bilik hatiku. Tapi sekarang lihatlah aku Bu, lihatlah
calon menantumu. Aku telah patah.
Karna
putramu.
Pukul 11.00
siang. Pukul 12.00 di Samarinda. Itu berarti akad nikah sedang berlangsung.
Janji suci pernikahan tengah diikrarkan. Aku menghela nafas panjang. Menutup
mata. Perih itu semakin terasa menelikung dadaku. Sesak.
Ya Allah..kuatkan aku.
***
Senja. Langit
menyemburatkan jingga menyala. Mengiringi matahari yang bersiap tenggelam di peraduannya.
Burung-burung terbang membentuk formasi menakjubkan. Angin bertiup semilir
memainkan rambutku yang tergerai.
Satu tahun
berlalu bagai berjalan merangkak. Satu tahun yang panjang. Aku mencoba memungut
kembali serpihan hatiku, merangkainya satu persatu meski tak lagi utuh.
Sendiri, tertatih merawat luka, membasuh perih dan menghapus air mata. Satu
tahun berlalu. Satu tahun yang melelahkan, satu tahun yang menyesakkan. Berlalu
sudah.
Hari-hari yang
panjang, malam-malam yang meresahkan. Berlalu sudah. Aku yang patah. Aku yang
pupus. Aku yang takut menatap masa depan. Kini mampu berdiri kembali. Mimpi
yang bertahun coba kubangun, hancur, hilang entah kemana, kini pelan tapi pasti
terajut lagi. Aku memang tak pernah tau kenapa Ken meninggalkanku begitu saja.
Aku tak pernah tau apa salahku. Mungkin seumur hidup aku takkan pernah
mendapatkan jawaban itu. Dan lebih baik aku memang tidak pernah tau.
Tapi satu yang
aku tau, bahwa Tuhan punya sejuta rencana indah untukku. Saat ini aku hanya
ingin melupakan. Belajar memaafkan dan mencoba untuk merelakan. Kembali hidup
normal. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mampu berkata,
Semoga kau bahagia
Ya,
berbahagialah. Karna di sini aku akan jauh lebih bahagia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar