Sebut saja Liliput. Kenapa begitu, entahlah. Nama itu seakan sudah tak terpisahkan dari hidup seorang gadis kecil yg kini tumbuh menjadi remaja dewasa dengan sejuta impiannya. Mimpi. Satu kata yg sampai saat ini masih ku genggam erat di tanganku. Satu kata penuh berjuta makna, kejutan dan juga keajaiban. Berawal dari mimpi, berlalu dengan perjuangan dan kerja keras, dan semoga berakhir dengan indah. Percaya pada diri sendiri, selalu menjadi diri sendiri, itu adalah kunci .

Rabu, 05 Maret 2014

Cerpen : SILUET JOGJA



Oleh : Furi Arviyani @pHoooyi
Asap kendaraan mengepul membumbung tinggi ke langit yang mulai kemerahan diterpa senja. Membuatku terpaksa menutup hidung. Terbatuk-batuk kecil. Aku patah-patah hendak menyeberang karena lalu lintas begitu padat. Mobil dan sepeda motor bagai berjalan merayap. Saling membunyikan klakson, wajah-wajah lelah dan sayah tampak tidak sabaran ingin saling mendahului. Tampak beberapa tukang becak ikut terjebak dalam antrean panjang itu. Menyeka peluh, sambil sesekali kembali mengayuh. Satu kayuhan, berhenti, lalu dua kayuhan. Berkali-kali sebuah sepeda motor bergantian menyalipnya. Tapi tukang becak itu tetap gagah duduk dikursi kayuhnya. Bersabar. Dua turis yang duduk didepan tampak sumringah meski ditengah kemacetan nan panjang itu. Asyik mengobrol sambil memotret kanan kiri. Seperti tak mempedulikan keriuhan dan hiruk pikuk jalanan. Bahkan malah terkesan menikmati. Bulan sabit samar menggantung malu-malu diatas langit Yogyakarta. Tersenyum melihatku susah payah menyeberang. Aku mendongak, balas tersenyum.
Ini malam minggu, wajarlah jika kawasan Malioboro dua kali lebih ramai dari hari-hari biasanya. Banyak yang datang berkunjung sekadar ingin menghabiskan malam minggu bersama keluarga, teman, atau pacar.
Haaapp..aku sampai diseberang. Aku berjalan menyusuri trotoar yang kini dipenuhi pedagang kaki lima yang mulai ramai menggelar lapaknya sejak matahari terbenam. Ku langkahkan kakiku lebih cepat saat aku melihat dua orang turis sedang asyik berfoto. Lalu sesekali tampak takjub melihat sekeliling.
“Excuse me,” sapaku ramah kepada mereka. Dua turis itu sedikit kaget dan menghentikan aktifitasnya. Lalu bersamaan menatapku. Aku tersenyum.
“I’m Riani,” aku menyebutkan nama. Sedetik kemudian mereka tersenyum. Lalu bergantian menyalamiku.
Yaaahh,, mereka adalah Janson dan Anke. Aku janji bertemu dengan mereka disini. Mereka adalah temanku dari Belanda. Teman dari dunia maya tepatnya. Sudah sejak beberapa bulan yang lalu kami sering mengobrol lewat jejaring sosial, dan mereka mengatakan sangat tertarik  dengan Indonesia. Apalagi Yogyakarta, sudah sering mereka mendengarnya. Dan baru hari ini mereka menyempatkan diri berkunjung.
Aku mengajak Janson dan Anke untuk duduk disalah satu bangku taman. Lampu jalanan mulai berkilat-kilat beradu dengan lampu mobil dan motor yang mengekor. Musisi jalanan ramai memainkan aksinya, dikerumini banyak orang, penasaran ingin menyaksikan dari dekat. Anak laki-laki sebayaku mendekati kami, ramah mengucapkan selamat sore. Lalu cempreng menyanyikan lagu Yogyakarta. Aku merogoh uang ribuan disaku celana, memberikannya pada pengamen itu. Matanya berbinar-binar, berlalu sambil mengucapkan terimakasih.
“How do you feel being in this country..???,” aku membuka pembicaraan.
“Great,” Janson tersenyum lebar. Takzim. Selanjutnya aku sibuk menjawab pertanyaan mereka, menjelaskan yang aku tahu. Tentang Jogja dan seluk beluknya. Sudah seperti guide saja. Merekan manggut-manggut. Tersenyum, kagum. Kadang mengangkat alis, penasaran. Terkesima. Entahlah.
Yang jelas dua hari kedepan aku bertugas untuk menemani mereka mengelilingi kota budaya ini.

***

Matahari tersenyum cerah dari balik bangunan-bangunan tinggi bertinggkat. Ramah mengucapkan selamat pagi kepada para pedagang yang mulai sibuk menata dagangannya. Riuh. Para pejalan kaki yang tumpah ruah memenuhi hampir sebagian badan jalan. Jogging, bersepeda santai, atau sekedar menikmati suasana minggu pagi sambil menyantap bubur dan gudeg yang banyak ditawarkan disepanjang trotoar. Kendaraan roda dua maupun empat tak mau ketinggalan. Meski masih pagi, meski hari minggu, masih saling berebut mendahului satu sama lain. Bunyi klakson melenguh, asap knalpot bercampur dengan udara sejuk pagi hari.
Aku bersama Janson dan Anke menerobos segerombolan muda-mudi yang asyik bergurau di sepanjang trotoar. Bergerombol memenuhi jalan. Mereka hanya menatap sekilas kami bertiga, sekedar ingin tahu siapa yang mengganggu keriangan mereka. Kemudian kembali terbahak tidak peduli.
Anke menunjuk kearah bangunan  monumen yang berdiri anggun disekitar kawasan Benteng Vredeburg. Penasaran bertanya.  Itu adalah Monumen Serangan Umum 1 Maret. Dibangun untuk memperingati perjuangan tentara Indonesia melawan  Belanda pada tanggal 1 Maret 1949. Anke mengangkat alis, tersenyum. Ohh ya,,berarti negara kita dulu bermusuhan ya..???
 Kami menuju alun-alun utara. Ada berbagai macam acara disini. Sekilas memang tampak tidak berbeda dengan dijalan protokol. Ada yang berlari kecil, berjalan sambil membawa anjing peliharaannya, duduk berselonjor, melemaskan kaki yang keletihan. Padagang bubur keliling hilir mudik menjajakan dagangannya. Terbungkuk-bungkuk menawari orang-orang yang duduk diatas rumput alun-alun yang basah. Kemudian kembali berteriak riang menawarkan buburnya. Petugas kebersihan tampak sedang membersihkan sisa-sisa sampah bekas pertunjukan musik tadi malam. Sejak tadi Anke sibuk dengan kameranya, asyik memotret. Sambil bertanya tentang apa saja yang dia lihat. Sedangkan Janson, sesekali jahil mengganggu Anke. Kemudian tertawa melihat Anke melotot kearahnya. Lucu sekali melihat kakak beradik ini. Ya, Janson dan Anke adalah kakak beradik. Awalnya aku hanya berteman dengan Anke, kemudian entah apa pasal Janson tiba-tiba menghubungiku. Basa-basi minta kenalan. Aku sendiri awalnya tidak terlalu menanggapi, tapi setelah tau bahwa dia adalah kakak Anke, kami jadi berteman.
Aku melirik jam dipergelangan tangan. Memberitahu mereka bahwa kita harus segera bersiap-siap. Kami akan memulai wisata hari pertama di Kabupaten Bantul. Ada beberapa tempat menarik dari kota kelahiranku itu yang akan menjadi tujuan kami. Janson mengangguk. Anke segera merapikan peralatan memotretnya. Memasukkannya kedalam tas kecil yang selalu dibawanya. Kami beranjak, meninggalkan alun-alun yang semakin ramai oleh pejalan kaki. Kembali ke penginapan.

***    
Aku mengajak Janson dan Anke menikmati perjalanan sekitar 20 km kearah selatan Kota Yogyakarta, 15 km kearah tenggara Kabupaten Bantul, menikmati pesona alam Goa Cerme, yang tertelak di dusun Srunggo, Selopamioro Imogiri. Meskipun masih terbilang pagi, pengunjung sudah mulai ramai berdatangan. Tampak beberapa rombongan mahasiswa, dan turis yang baru saja sampai hampir bersamaan dengan kami.
“Mbak Riani, selamat pagi Mbak,” Pak Giyarto, salah satu pemandu goa menyapaku ramah.
“Selamat pagi Pak,” aku memasang senyum tak kalah ramah.
“Bawa siapa ini Mbak,” tanya Pak Giarto sambil menunjuk Janson dan Anke disebelahku.
“Oh..ini teman-teman saya dari Belanda Pak. Kenalkan, ini Janson dan yang ini Anke,” aku bergantian memperkenalkan.
Pak Giyarto menyeringai, patah-patah mengulangi nama yang kusebutkan. Sambil mengulurkan tangan. Tersenyum ramah. Memperlihatkan giginya yang sudah ompong separuh.
Setelah membeli tiket dan nego harga untuk memandu dengan Pak Giyarto, kami mempersipakan diri. Kami mengenakan helm yang sudah dilengkapi senter.
“Ya sudah, untuk Mbak Riani, bolehlah. Itung-itung sebagai pancingan karena masih pagi,” Pak Giyarto berbahak. Melipat ujung celana panjangnya.
Goa Cerme ini memiliki panjang sekitar 1,5 km. Untuk sampai dipintu goa, kami harus melewati sekitar 760 tangga. Dan uniknya, ujung dari goa ini adalah sebuah sendang di Kabupaten Gunung Kidul, tepatnya di desa Ploso, Giritirto,Panggang. Jadi goa ini terletak didua daerah yang berbeda. Berawal di Bantul dan berujung di Gunung Kidul. Dasar goa adalah genangan air dengan tinggi sekitar 1-1,5 meter. Jika musim hujan tiba, ketinggiannya bisa sampai leher orang dewasa.
Keindahan lain yang memikat hati para wisatawan adalah stalagtit dan stalagmit dalam goa yang membius setiap mata yang memandang. Di dalam  goa ini sangat gelap, jadi para pengunjung harus menggunakan senter atau alat penerangan lain seperti petromaks jika ingin menelusuri goa lebih dalam. Goa Cerme ini sering dikaitkan dengan Walisongo. Konon, dahulu sering menjadi tempat pertemuan para Walisongo dalam  menyusun strategi untuk  menyebarkan ajaran agama Islam di Pulau Jawa. Dan Cerme berasal dari kata “arame” yang berarti ceramah atau dakwah.
Pak Giyarto sibuk menjelaskan beberapa hal, aku menerjemahkan kedalam bahasa inggris kepada Janson dan Anke. Mereka mengangguk-angguk. Berbinar-binar. Senang sekali.
Matahari tepat berada diatas kepala ketika kami selesai menelusuri goa. Janson menyeka keringat didahinya. Anke makmum. Aku menyodorkan air mineral, menawari minum. Janson menyambarnya. Anke mendelik, kalah berebut. Janson menyeringai saat pukulan Anke mendarat dilengannya. Aku menyengir, seharusnya tadi kami beli minuman dulu sebelum masuk. Kami lantas melanjutkan perjalanan ke dusun Jetis Selopamioro.
Hamparan sawah yang menghijau membentang didepan mata tatkala kami sudah mulai memasuki kawasan dusun . Para petani ramah menyambut kami, berhenti sejenak dari aktivitas mencangkul, tersenyum melambaikan tangan. Meski dijaman modern seperti sekarang, yang marak dengan adanya traktor, membajak dengan menggunakan sapi atau kerbau, tapi petani desa setempat masih saja menggunakan jasa mencangkul. Selain karna medan yang tidak memungkinkan untuk masuknya traktor, juga  tidak ada yang menyewakan jasa sapi atau kerbau, maka mencangkul masih menjadi satu-satunya jasa yang bisa diandalkan.
            Anak-anak kecil bertelanjang dada, berlari saling berkejaran, ramai memecah keheningan siang hari yang terik. Anke sibuk mengeluarkan kameranya, memotret, merekam aksi anak-anak kecil itu. Tertawa sendiri, Anke memang senang dengan anak-anak. Itu ku ketahui saat chatting dua bulan yang lalu. Jika tidak ingat sedang berada di dalam mobil, Anke pastilah sudah melompat turun menghampiri anak-anak itu. Ikut bermain, lari berkejar-kejaran, lalu mengajak mereka duduk, dan memaksa anak-anak itu untuk mendengarkan dia bercerita. Sayang Anke tidak bisa berbahasa Indonesia. Ada sedikit gurat sedih dibalik senyumnya. Aku jadi iba melihatnya.. Lantas kukatakan  bahwa aku akan mengajarinya berbahasa Indonesia. Matanya lantas berbinar-binar, terimakasih Riani.
Dan Janson, entahlah. Beberapa kali aku memergokinya sedang menatapku. Tatapan yang,,aaahhh...aneh sekali rasanya. Wajahnya yang putih memerah saat kebetulan beradu tatap denganku. Aku urung bertanya, takut dia tersinggung atau malu.
Mobil yang kami tumpangi berhenti disebuah jembatan gantung yang membentang menghubungkan dua desa. Yakni Desa Wunut, Kedungmiri dengan Desa Jetis, Selopamioro. Jembatan ini telah menarik perhatian banyak pengunjung. Selain karna pemandangannya yang indah, dibawah jembatan ini terdapat sungai yang masih mengalir jernih airnya. Hijau kebiru-biruan. Batu-batu besar tampak dibeberapa sisi sungai. Jika air sedang surut ditepi-tepi sungai akan terlihat batu-batu kerikil putih yang membentuk pulau-pulau. Banyak pengunjung yang sering turun, sekedar ingin menikmati pemandangan yang lebih menakjubkan dari bawah jembatan.
Adalah sekitar 30 menit kami berhenti untuk memanjakan mata diatas jembatan gantung. Anke masih selalu sibuk dengan kameranya. Merengek pada Janson untuk berkenan menjadi fotografer amatirnya. Janson meraih kamera dari tangan Anke sambil bersungut-sungut. Lalu dengan gayanya Anke berpose layaknya model papan atas. Bergerak kekanan, lalu kekiri, tersenyum, dan kadang manyun. Puas dengan aksinya sendiri, Anke lalu meraih kamera dari tangan Janson, kemudian mengarahkannya pada Janson, dan juga padaku disebelahnya. Aku tidak siap dan,,,Janson secara reflek menarik tanganku untuk lebih dekat. Aku sedikit terkejut. Jembatan itu bergoyang oleng oleh kami. Anke tertawa. Pastilah dia sedang mengerjaiku. Janson menyengir.
***
Aku menatap bulan sabit yang sudah agak separuh bundar. Bintang gemintang memenuhi langit seakan berparade. Angin malam semilir, lembut menyentuh tubuhku. Belum terlalu larut. Suara bising kendaraan masih terdengar sayup-sayup. Anke sudah terlelap kelelahan. Sejak pulang tadi dia hanya mandi dan lansung tidur.
Tookk..tookk..tookk.
Suara pintuk diketuk. Aku beranjak.
Janson sudah berdiri gagah didepan pintu, tersenyum. Ya Tuhan, itu kesekian kalinya aku melihatnya tersenyum, tapi baru kali ini aku sadar kalo senyumnya ternyata sangat manis. Ditangannya ada dua cangkir cokelat hangat. Aku mempersilakannya masuk.
”May we enjoy this warm chocolate on the outside only, Riani,” katanya, menawarkan.
Aku tersenyum, urung masuk kedalam. Mengangguk pada Janson. Kami menuju taman yang ada disamping penginapan. Pohon-pohon palem berdiri anggun dibeberapa tepian taman. Lampu bolam temaram, indah menghias susut-sudut. Bangku-bangku taman yang bundar, terbuat dari kayu, terlihat mengkilat ditempa lampu. Suasana yang romantis. Ahh,, mengapa Janson mengajakku kemari..??? Aku membatin.
Kami duduk disalah satu bangku disudut taman. Sepi. Mungkin penghuni penginapan sudah pada terlelap. Suara jangkik mengengkrik. Entah kenapa aku sedikit canggung berada didekat Janson. Aku teringat tatapan matanya padaku siang tadi. Bukan tatapan yang biasa. Ahh, atau jangan-jangan aku saja yang terlalu perasa. Sebenarnya itu bukan tatapan yang aneh.
Janson menyeruput cokelat hangat sambil menatapku. Aku tersipu, entah kenapa dengan perasaan ini. Tiba-tiba saja seperti ada sesuatu yang menyumpalnya, membuat sesak.
“This is a beautiful city, i’m so glad to be here to meet you,” Janson membuka pembicaraan. Wajahnya bulenya pias ditempa cahaya temaram. Aku tersenyum tanggung. Kenapa aku jadi gugup seperti ini..?????
Yaahh..” suaraku lirih, lebih lirih dari suara jangkrik, hilang oleh sapuan angin.
Suasana lantas lengang. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Suara kendaran sudah semakin sayup terdengar, hanya satu dua yang melintas. Lampu kamar-kamar dipenginapan sudah dimatikan. Hanya menyisakan lampu-lampu dipojok bangunan dan ditaman ini. Janson kembali menyeruput cokelat hangatnya yang tinggal setengah. Menghela nafas.
Kenapa jadi canggung seperti ini..???Aku lantas pamit masuk kedalam. Sepertinya Janson tidak akan bicara apa-apa lagi. Udara malam semakin dingin menusuk tulang. Janson mengangguk.
Please jangan menatapku seperti itu, Janson.

                                                                ***
Tadi malam kalian kemana..???” Anke menatapku dan Janson. Bertanya lewat tatapan matanya. Uppss,,bukahkah Anke sudah terlelap tadi malam..?? Aku dan Janson saling pandang, menyerinyai pada Anke. Anke melipat mukanya, pura-pura kesal.
Hari ini aku akan menemani mereka belanja oleh-oleh. Besok pagi-pagi sekali mereka akan kembali ke Belanda. Singkat sekali rasanya waktu kebersamaan kami. Mereka teman yang baik. Baik sekali malah. Meski baru pertama kali bertemu dengan mereka, tapi aku sudah merasa nyaman. Tidak seperti orang asing.
Kami kembali menelusuri kawasan Malioboro. Mencari pernak-pernik. Anke memborong banyak sekali. Ini untuk hadiah anak-anak didikku. Begitu jawabnya saat aku bertanya. Ya, Anke adalah seorang guru disalah satu SD terpencil di Belanda.Itu kuketahui saat chatting dua minggu sebelum mereka memutuskan mengunjungiku. Bukan SD mewah, yang siswanya berasal dari orang kaya, bermobil, pakaiannya bersih. Bukan. Aku sendiri tidak tahu dengan yang dimaksud SD terpencil disana itu seperti apa. Ada sekitar 20 anak yang dididiknya. Aku salut sekali dengannya. Wanita muda meda belia, tapi jiwa sosialnya sangat tinggi, dijaman leberalisasi seperti ini, wanita seperti Anke pastilah sulit ditemui.
Janson sibuk mencari miniatur-miniatur dari bambu. Aku membantu menawar harga. Setelah nego panjang dengan pedagang, Janson mendapatkan barang dengan harga yang lumayan. Bahkan dapat bonus karna dia memborong banyak. Kami lantas keluar masuk toko baju-baju batik. Tidak ada  yang  cocok, aku menawarkan untuk membeli di Pasar Beringharjo saja. Disana lebih banyak macamnya, juga bisa mendapatkan barang dengan harga yang lumayan murah. Asal kita pandai-pandai saja menawar. Para pedagang biasanya menaikkan harga hingga dua kali lipat pada wisatawan. Jadilah kami bertiga jalan kaki menyusuri emperan-emperan toko menuju Pasar Beringharjo. Berdesak-desakan. Tiba-tiba…
Ya Tuhan..Janson menggandeng tanganku.
                                                               ***
Aku masih berusahan keras menepikan pikiran-pikan tentang Janson yang usil sekali mengganggu pikiranku. Seliweran tidak karuan.  Tentang tatapannya waktu kami berada didalam mobil, saat dia menarik tanganku di jembatan gantung, tadi malam ditaman, dan terakhir waktu dia menggandeng tanganku tadi siang. Entah kenapa aku merasa aneh sekali dengan perlakuannya.
Ya Tuhan, aku bahkan baru dua hari yang lalu bertemu dengannya. Kenapa dia memperlakukanku sedemikian rupa..??
Anke hanya senyam-senyum melihat Janson menggandeng tanganku. Tidak protes, malah berjalan anggun dibelakang kami. Seperti mengawal pengantin saja. Aku jadi tersipu malu, Janson menyeringai menatap adiknya. Apa-apaan Anke ini..???   
“Thank you already receive us well here. This is a very beautiful city, we will certainly miss you,” Anke tersenyum, dia sudah selesai memasukkan barang-barangnya kedalan koper. Aku tadi membantunya. Anke melirik Janson sekilas.
“And he, he will definitely miss you so much,” Anke terkekeh. Aku melirik Janson yang tersipu, bersiap melempar bantal pada Anke.
Dua hari adalah waktu yang sangat singkat untuk menikmati pesona Yogyakarta yang begitu anggun, ramah, dan mengesankan. Ada banyak tempat menarik yang belum sempat kutunjukkan pada Janson dan Anke. Mereka menyengir, bilang tak apa. Nanti kami akan kesini lagi. Secepatnya.
                                                           ***
Pagi-pagi sekali, dingin menusuk tulang. Ayam masih enggan untuk berkokok. Senyap. Tapi disini sudah terjadi kesibukan yang cukup riuh. Aku membantu Anke menyiapkan koper. Meneliti barang-barangnya, siapa tau ada oleh-oleh yang lupa dibawanya, aksesoris misalnya. Jangan-jangan nanti Anke akan menyuruhku ke Belanda untuk mengantarkannya. Janson dikamar sebelah entah sedang apa. Sepi sekali kamarnya. Apa mungkin dia masih terlelap..?? Tadi malam dia tidur larut sekali. Kami menghabiskan separuh malam dikawasan 0 kilometer. Duduk menikmati alunan musik para musisi jalanan. Pengamen datang dan pergi. Anak-anak muda asyik bersepeda santai, hilir mudik diruas jalan protokol. Anke menolak ikut karna kecapekan.  Janson mengajakku berbincang tentang kunjungannya selama beberapa hari ini, tentang Yogyakarta, dan tentang sesuatu yang selama beberapa hari ini mengusikku, pernyataannya cukup membuatku terkejut. Sesuatu yang menjelaskan banyak hal, tentang tatapannya padaku saat kami berada didalam mobil, saat malam-malam ditaman.
Janson mengagumiku.
Pintu kamar diketuk. Ake beranjak membukakan pintu. Janson. Berdiri gagah didepan pintu sambil menenteng tas besar. Tersenyum mengucapkan selamat pagi.
“Kau bisa cepat sedikit Anke..??? Atau kau mau nanti ketinggalan pesawat..??? Ahh yaa..kau sengaja ya biar kita ketinggalan pesawat..??? Kau tak ingin pulang sebenarnya”, Janson mendekat pada Anke yang masih sibuk dengan barang-barangnya. Mengacak-acak rambut Anke. Heran. Bukankah tadi malam semua sudah beres..??
Anke mendelik. Menatap Janson.
“Bukankah kau sebenarnya yang tak ingin pulang..????” Suaranya sengaja keras sekali. Janson buru-buru membekap mulut Anke. Tersipu.
Aku tersenyum melihat mereka. Lalu mengatakan bahwa kita harus bergegas.
                                                             ***
Anke memelukku. Mengucapkan terimakasih. Berjanji akan datang lagi. Bilang bahwa Yogyakarta menyimpan beribu kerinduan yang akan menderanya disela-sela kesibukannya. Janson menyalamiku. Tersenyum, ini senyum termanis yang pernah kulihat. Ada gurat kesedihan dimatanya, berat meninggalkan kota ini. Tiga hari telah memberi warna dan cerita baru dalam hidupnya. Cerita tentang Yogyakarta, tentang cinta. Entahlah. Mungkinkah dia jatuh cinta..??? Padaku..???
                                                              ***


2 komentar: